Jumat, 17 April 2009

untuk sahabat

Setitik kasih akan membuat kita sayang

Setitik janji akan membuat kita percaya

Sekecil luka akan membuat kita kecewa

Sebuah persahabatan selamanya akan selalu bermakna


Jika kau ingin sahabat
Jangan karena kelebihannya, karena mungkin dengan satu kelemahan kau mungkin akan menjauhinya

Jika kau ingin sahabat
Jangan karena kebaikannya, karena mungkin dengan satu keburukan kau akan membencinya

Jika kau ingin sahabat
Jangan karena... karena jika dia telah membuat kesalahan kau akan meninggalkannya

Jika kau ingin sahabat
Jangan karena kepentingan, karena apabila sudah tidak penting lagi kau mungkin akan menyampakkannya

Jika kau ingin sahabat
Terima dia apa adanya, karena dia juga manusia biasa sama sepertimu
Jangan berharap dia sempurna, karena kau juga tidak sempurna
Tidak ada yang sempurna di dunia ini kecuali Tuhan


Sahabat itu laksana bintang
Kadang kau melihatnya kadang tidak
Tapi kau tahu dia ada disana, dengan cahayanya dia menjagamu
Kedewasaan tidak ditandai dengan bertambahnya berbagai pengalaman usia tetapi ditandai kematangan berfikir dan pandai dalam menyikapi setiap permasalahan hidup.
Proses dari teman menjadi sahabat membutuhkan usaha pemeliharaan dari kesetiaan, tetapi bukan pada saat kita membutuhkan bantuan barulah kita memiliki motivasi mencari perhatian, pertolongan dan pernyataan kasih dari orang lain tetapi ia justru berinisiatif memberikan dan mewujudkan apa yang dibutuhkan oleh sahabatnya.

Kerinduannya adalah menjadi bagian kehidupan sahabatnya, karena tidak ada persahabatan yang diawali dengan sikap egois.
Semua orang pasti membutuhkan sahabat, namun tidak semua orang berhasil mendapatkannya. Banyak pula orang yang telah menikmati indahnya persahabatan, namun ada juga yang begitu hancur karena dicampakkan sahabatnya

Mempunyai satu sahabat lebih berharga dari seribu teman bahkan diri sendiri sekalipun
Dalam masa kejayaan semua orang mengenalmu
Dalam masa kesengsaraan semua orang meninggalkanmu
Ingatlah kapan terakhir kali kamu berada dalam kesulitan
Siapa yang berada di samping kamu?
Siapa yang mendengar keluh kesahmu
Siapa yang memberimu arti bahwa kamu berarti
Siapa yang mengasihimu saat kamu tidak merasa dicintai
Siapa yang ingin bersamamu saat tidak seorangpun yang dapat kamu berikan?

Dialah sahabatmu
Walaupun memang dia telah melukaimu, janganlah lihat dari sisi buruk atau kelemahannya tapi lihatlah dari sisi kebaikannya
Hargailah ketulusannya, keikhlasannya dan pengorbanannya
Mengertilah kelemahannya, kekhilafannya dan kekurangannya
Kekurangannya adalah kelebihanmu
Terimalah dia apa adanya....

Setitik semangat

Hidup akan lebih bahagia kalau kita menikmati apa yang kita miliki
Karena itu bersyukur merupakan kualitas hati yang tertinggi
Saya ingin mengawali tulisan ini dengan cerita mengenai seorang ibu yang sedang terapung di laut karena kapalnya karam, namun tetap bahagia.
Ketika ditanya kenapa demikian, ia menjawab”
Saya mempunyai dua anak laki-laki. Yang pertama sudah meninggal, yang kedua hidup di tanah seberang. Kalau berhasil selamat saya bahagia karena dapat berjumpa dengan dengan anak kedua saya.
Tetapi kalaupun mati tenggelam, saya juga akan bahagia karena saya akan berjumpa dengan anak pertama saya di Surga”

Bersyukurlah...
Bersyukurlah bahwa kamu belum siap memiliki segala sesuatu yang kamu inginkan...
Seandainya sudah, apalagi yang harus diinginkan?
Bersyukurlah apabila kamu tidak mendapatkan sesuatu ...
Karena itu memberimu kesempatan untuk belajar...
Bersyukurlah untuk masa-masa sulit...
Dimasa itulah kamu tumbuh...
Bersyukurlah akan keterbatasanmu...
Karena itu memberimu kesempatan untuk belajar...
Bersyukurlah untuk tantangan baru...
Karena itu akan membangun kekuatan dan karaktermu...
Bersyukurlah akan kesalahan yang kamu buat...
Itu akan mengajarkan pelajan yang berharga...
Bersyukurlah bila kamu lelah dan letih...
Karena itu telah membuat suatu perbedaan...
Mungkin mudah untuk kita bersyukur akan hal-hal baik...
Hidup yang berkelimpahan datang pada mereka yang akan bersyukur akan masa surut...

Filosofi Indonesia

Pada zaman purba, tanah air kita disebut dengan aneka nama. Dalam catatan bangsa Tionghoa kawasan kepulauan kita dinamai Nanthal (Kepulauan Laut Selatan). Berbagai catatan kuno bangsa India menamai kepulauan ini Dwipantara (Kepulauan tanah seberang), nama yang diturunkan dari bahasa Sanskerta dwipa (pulau) dan antara (luar, seberang). Kisah Ramayana karya pujangga Valmiki yang termashur itu menceritakan pencarian terhadap Sinta, istri Ramayana yang diculik Ravana, sampai ke Suwarnadwipa (Pulau Emas, yaitu Sumatera sekarang) yang terletak di Kepulauan Dwipantara.

Bangsa Arab menyebut tanah air kita Jaza’ir al-Jawi (Kepulauan Jawa). Nama latin untuk kemenyan adalah benzoe, berasal dari bahasa Arabluban jawi (kemenyan Jawa), sebab para pedagang Arab memperoleh kemenyan dari batang pohon Styrax sumatrana yang dahulu hanya tumbuh di Sumatera. Sampai hari ini jemaah haji kita masih sering dipanggil “Jawa” oleh orang Arab. Bahkan orang Indonesia luar Jawa sekalipun. “Samathrah, Sholibish, Sundah, Kulluh Jawi (Sumatera, Sulawesi, Suinda, semuanya Jawa)”kata seorang pedagang di pasar seng, Macca.

Lalu tibalah zaman kedatangan orang Eropa ke Asia. Bangsa-bangsa Eropa yang pertama kali datang itu beranggapan bahwa Asia hanya terdiri dari Arab, Persia, India dan Cina. Bagi mereka, daerah yang terbentang luas antara Persia dan Cina semuanya adalah “Hindia”. Semenanjung Asia Selatan mereka sebut “Hindia Muka” dan daratan Asia Tenggara dinamai Hindia Belakang” . sedangkan tanah air kita memperoleh nama “Kepulauan Hindia (Indische Archipel, Inddian Archipelago,I’Archipal Indien) atau “Hindia Timur (Oost Indie, East Indies, Indies Orientales). Nama lain yang juga digunakan adalah “Kepulauan Melayu”. (Malaische Archipel, Malay Archipelago, I’Arcipel Malais).

Ketika tanah air kita terjajah oleh bangsa Belanda, nama resmi yang digunakan adalah Nederlandsch-Indie (Hindia Belanda), sedangkan pemerintah pendudukan Jrpanga 1942-1945 memakai istilah Yo-Indo (Hindia Timur. Eduard Douwes Dekker (1820-1887) yang dikenal dengan nama samaran Multatuli pernah mengusulkan anama yang spesifik untuk menyebutkan kepulauan tanah air kita yaitu Insulinde yang artinya Kepulauan Hindia (Bahasa Latin insula berarti pulau). Tetapi rupanya nama Insulinde ini kurang populer. Bagi orang Bandung, Insulinde mungkin Cuma dikenal sebagai nama toko buku yang pernah ada di Jalan Otista.

Pada tahun 1920-an, Ernest Francois Eugene Douwes Dekker (1879-1950), yang kita kenal sebagai Dr. Setiabudi (Beliau adalah cucu dari adik Multatuli), mempopulerkan suatu nama untuk tanah air kita yang tidak mengandung unsur kata “India”. Nama itu tiada lain adalah Nusantara, suatu istilah yang telah tenggelam berabad-abad lamanya. Setiabudi mengambil nama itu dari Pararathon, naskah kuno zaman Majapahit yang ditemukan di Bali pada akhir abag ke-19 lalu diterjemahkan oleh J.L.A. Brandes dan diterbitkan oleh Nicholas Johanries Krom pada tahun 1920.

Namun perlu dicatat bahwa pengertian Nusantara yang diusulkan Setiabudi jauh berbeda dengan pengertian nusantara zaman Majapahit. Pada masa Majapahit Nusantara digunakan untuk menyebutkan pulau-pulau di luar Jawa (antara dalam Bahasa Sanskerta artinya luar, seberang) sebagai lawan dari Jawadwipa (Pulau Jawa). Kita tentu pernah mendengar Sumpah Palapa dari Gajah Mada, “Lamun huwus kalah nusantara, isun amukti palapa” (Jika telah kalah pulau-pulau seberang, barulah saya menikmati istirahat). Oleh Dr. Setiabudi kata nusantara zaman Majapahit yang berkonotasi jahiliyah itu diberi pengertian yang nasionalistis. Dengan mengambil kata Melayu asli antara,maka Nusantara kini memiliki arti yang baru yaitu “nusa diantara dua benua dan dua samudera”, sehingga Jawa pun termasuk dalam definisi nusantara yang modern. Istilah nusantara dari Setiabudi ini dengan cepat menjadi populer penggunaannya sebagai alternatif dari nama Hindia Belanda.

Sampai hari ini istilah nusantara tetap kita pakai untuk menyebutkan wilayah tanah air kita dari Sabang sampai Merauke. Tetapi nama resmi bangsa dan negara kita adalah Indonesia. Kini akan kita telusuri dari mana gerangan nama yang sukar bagi lidah Melayu ini muncul.

Pada tahun 1847 di Singapura terbit sebuah majalah ilmiah tahunan, Journal of the Indian Archipelago and Eastern Asia (JIAEA), YANG dikelola oleh James Richardson Logan (1819-1869), orang Skotlandia yang meraih sarjana hukum dari Universitas Edinburgh. Kemudian pada tahun 1849 seorang ahli etnologi bangsa Inggris, George Samuel Windsor Earl (1813-1865), menggabungkan diri sebagai redaksi majalah JIAEA.

Dalam JIAEA volume IV tahun 1850, halaman 66-74, Earl menulis artikel On the Leading Characteristics of the Papuan, Australian and MalayPolynesian Nations. Dalam artikelnya itu Erl menegaskan bahwa sudah tiba saatnya bagi penduduk Kepulauan Hindia atau Kepulauan Melayu untuk memiliki nama khas (a distinctive name) sebab nama Hindia tidaklah tepat dan sering rancu dengan menyebutkan Hindia yang lain. Earl mengajukan dua pilihan nama: Indunesia atau Malayunesia (nesos dalam Bahasa Yunani berarti pulau). Pada halaman 71 artikelnya itu tertulis:...the inhabitants of the Indian Archipelago or Malayan Archipelago would become respectively Indunesian or Malayunesians.

Earl sendiri menyaatakan memilih nama Malayunesia (Kepulauan Melayu) dari pada Indunesia (Kepulauan Hindia) sebab Melayunesia sangat tepat untuk ras Melayu, sedangkan Indunesia bisa juga digunakan untuk Ceylon (Srilanka) dan Maldives (Maladewa). Lagi pula, kata Earl, bukankah bahas Melayu dipakai di seluruh kepulauan ini? Dalam tulisannya itu Earl memang menggunakan istilah Malayunesia dan tidak memakai istilah Indunesia.

Dalam JIAEA volume IV itu juga, halaman 252-347, James Richardson Logan menulis artikel The Etnology of the Indian Archipelago. Pada awal tulisannya, Logan pun menyatakan perlunya nama khas bagi kepulauan tanah air kita sebab istilah Indian Archipelago terlalu panjang dan membingungkan. Logan memungut nama Indunesia yang dibuang Earl, dan huruf u digantinya dengan huruf o agar ucapannya lebih baik. Maka lahirlah istilah Indonesia.

Untuk pertama kalinya kata Indonesia muncul di dunia dengan tercetak pada halaman 254 dalam tulisan Logan: Mr. Earl suggest the etnographical term Indunesian, but rejects it in favour or Malayunesia, I prefer the purely geographical term Indonesia, whichis merely a shorter synonym for the Indian Islands or the Indian Archipelago, ketika mengusulkan nama Indonesia. Agaknya Logan tidak menyadari bahwa dikemudian hari nama itu akan menjadi nama bangsa dan negara yang jumlah penduduknya peringkat keempaat terbesar di muka bumi.

Sejak saat itu Logan secara konsisten menggunakan nama Indonesia dalam tulisan-tulisan ilmiahnya dan lambat laun pemakaian istilah ini menyebar di kalangan para ilmuan bidang etnologi dan geografi. Pada tahun 1884 guru besar etnologi di Universitas Berlin yang bernama Adolf Bastian (1826-1905) menerbitkan buku Indonesian oder die Inseln des Malayischen Archipel sebanyak lima volume, yang memuat penelitiannya ketika mengembara ke tanah air kita tahun 1864 sampai 1880. Buku Bastian inilah yang mempopulerkan istilah Indonesia dikalangan sarjana Belanda sehingga istilah Indonesia itu ciptaan Bastian. Pendapat yang tidak benar itu antara lain tercantum dalam Encyclopedie van Nederlandsch-Indie tahun 1918. padahal Bastian mengambil istilah Indonesia itu dari tulisan-tulisan Logan.

Putera ibu pertiwi yang mula-mula menggunakan istilah Indonesia adalah Suwardi Suryaningrat (Ki Hajar Dewantara). Ketika dibuang ke negeri Belanda tahun 1913 beliau mendirikan sebuah biro pers dengan nama Indonesische Persbureau.

Pada dasawarsa 1920-an, nama Indonesia yang merupakan istilah ilmiah dalam etnologi dan geografi itu diambil alih oleh tokoh-tokoh pergerakan perjuangan kemerdekaan. Akibatnya pemerintah Belanda mulai curiga dan waspada terhadap pemakaian kata ciptaan Logan itu.

Pada tahun 1922 atas inisiatif Mohammad Hatta, seorang mahasiswa Handels Hoogeschool (Sekolah Tinggi Ekonomi) di Rotterdam, organisasi pelajar dan mahasiswa Hindia di negeri Belanda (terbentuk tahun 1908 dengan nama Indische Vereeniging) berubah nama menjadi Indonesia. Majalah mereka, Hindia Poetra, berganti nama menjadi Indonesia Merdeka.

Bung Hatta menegaskan dalam tulisannya, “....Negara Indonesia Merdeka yang akan datang (de toeomstige vrije Indonesische staar) mustahil disebut Hindia Belanda. Juga tidak Hindia saja sebab dapat menimbulkan kekeliruan dengan India yang asli. Bagi kami, nama Indonesia menyatakan suatu tujuan politik (een politiek doel), karena melambangkan dan mencita-citakan suatu tanah air di masa depan dan untuk mewujudkannya tiap orang Indonesia (Indonesier) akan berusaha dengan segala tenaga dan kemampuannya”.

Sementara itu, di tanah air Dr. Sutomo mendirikan Indonesische Studie Club pada tahun 1924. tahun itu juga Perserikatan Komunis Hindia berganti nama menjadi Partai Komunis Indonesia (PKI). Kemudian pada tahun 1925 Jong Islamieten Bond membentuk kepanduan National Indonesishe Padvinderij (Natipij). Itulah tiga organisasi di tanah air yang mula-mula menggunakan nama Indonesia. Akhirnya nama Indonesia dinobatkan sebagai nama tanah air, bangsa dan bahasa kita pada Kerapatan Pemuda Pemudi Indonesia tanggal 28 Oktober 1928 yang kita sebut Sumpah Pemuda.

Pada bulan Agustus 1939, tiga orang anggota Volkstraad (Dewan Rakyat;DPR zaman Belanda), Muhammad Husni Thamrin, Wiwoho Purbohadidjojo dan Sutardjo Kartohadikusumo mengajukan mosi kepada Pemerintah Belanda agar nama Indonesia diresmikan sebagai pengganti nama Nederlansch-Indie, tetapi Belanda keras kepala sehingga mosi ini ditolak mentah-mentah.

Dengan Ridha Allah AWT., jatuhnya tanah air kita ke tangan Jepang pada tanggal 8 Maret 1942, maka lenyaplah nama Hindia-Belanda untuk selama-lamanya. Kemudian pada tanggal 17 Agustus atas berkat rahmat Allh Yang Maha Kuasa, lahirlah Republik Indonesia

Senin, 06 April 2009

Dayeuh Kolot

Di sebelah Barat daerah kekuasaan Mataram, tepatnya di utara kaki Gunung Geulis, mengalir sebuah sungai besar yang menjadi ciri atas berdirinya Kerajaan Tarumanagara. Sungai yang dimaksud yaitu sungai Citarum, Ci berasal dari kata Cai yang berarti air dan Tarum yaitu semacam Perdu (tumbuhan) yang tumbuh di tepi sungai itu. Apabila daun perdu itu terkena rendaman air sungai, maka air itu akan berwarna hitam. Tumbuhan perdu biasanya sering digunakan oleh wanita pada masa itu untuk mencuci rambut. Keadaan tanahnya landai sehingga mudah digunakan untuk lalu-lalang orang dengan mempergunakan rakit penyeberangan (Rini, Dayeuh Kolot. 2005:2).

Dengan semakin ramainya orang menggunakan daerah itu, maka lambat laut daerah itu menjadi daerah persinggahan dan perdagangan. Pada awal abad ke-17, di daerah ini dibentuk organisasi pemerintahan untuk menata, menyusun dan menertibkan masyarakat dan tata lingkungan hidupnya dalam segala hal sampai dengan penetapan pemakaian nama daerah ini yaitu Karapyak/Krapyak yang artinya nama rakit penyebrangan yang dibuat dari batangan bambu.

Pada perkembangan selanjutnya daerah ini dikuasai oleh Kerajaan Mataram. Namun demikian, Pada tahun 1600-an terjadi suatu pemberontakan yang dilakukan Dipati Ukur terhadap Mataram. Pemberontakkan itu terjadi ketika pemerintahan Mataram tengah mengalami kelemahan akibat peperangan melawan VOC sehingga keadaan tersebut dimanfaatkan oleh Dipati Ukur untuk melepaskan diri dari Kekuasaan Mataram. Meskipun menjadi lemah, Pemerintahan Mataram sadar bilamana pemisahan ini tidak ditindak, wibawa Mataram dalam waktu pendek akan hilang di seluruh Jawa. Pada tahun 1632 pemberontakan tersebut berakhir dengan menyisakan dampak berupa kekosongan kekuasaan di Priangan. Sementara itu, pihak Kerajaan Mataram berusaha untuk menguasai Priangan kembali karena daerah itu merupakan benteng pertahanan Mataram di bagian barat terhadap kemungkinan serangan tentara VOC. Oleh karena itu, untuk menghindari terjadinya kerusuhan di daerah Priangan yang mengancam kekuasaan Mataram seperti yang dilakukan oleh Dipati Ukur, maka Sultan Agung memecah Priangan menjadi beberapa daerah kabupaten yang masing-masing diperintah oleh seorang mantri agung (bupati) (Robert Vaskuil, 2007: 9).

Sultan Agung memecah daerah Priangan menjadi tiga kabupaten, yakni Bandung, Sukapura, dan Parakanmuncang. Pembentukan ketiga kabupaten tersebut ditandai dengan pengangkatan Ki Astamanggala sebagai Bupati Bandung dengan gelar Tumenggung Wiraangun-angun, Tumenggung Wiradadha sebagai Bupati Sukapura, dan Tumenggung Tanubaya sebagai Bupati Parakanmuncang. Pelantikan ketiga orang bupati tersebut berlangsung di ibukota Mataram dan dinyatakan dalam piagam Sultan Agung. Piagam tersebut merupakan bukti sejarah yang kuat yang menyatakan adanya daerah bernama Bandung dan di daerah itu dibentuk pemerintahan kabupaten. Setelah ketiga orang bupati tersebut dilantik oleh Sultan Agung di ibukota Mataram, maka merekapun kembali ke daerah masing-masing dan mencari tempat untuk ibukota kabupaten. Dengan mendapat surat pengangkatan dari Mataram, Tumenggung Wiraangun-angun kembali dari Mataram ke wilayah Tatar Ukur, tepatnya di Timbanganten (Robert Vaskuil, 2007: 9). Selanjutnya pada tahun 1670 Tumenggung Wiraangun-angun membangun pusat pemerintahannya di suatu tempat di tepi Sungai Citarum dekat muara Sungai Cikapundung, tidak jauh dari pertemuan Sungai Citarum dengan Sungai Citarik. Tempat yang dimaksud adalah Krapyak yang kemudian dijadikan ibukota Kabupaten Bandung. (Ekadjati, 1981: 14).

Krapyak dipilih sebagai ibukota kabupaten didasarkan beberapa pertimbangan. Pertama, tempat itu terletak di tepi Sungai Citarum dan tidak jauh dari muara Sungai Cikapundung. Dengan demikian, dari segi kepentingan komunikasi daerah yang dilintasi Sungai Citarum ini merupakan penghubung dengan daerah-daerah Mataram di pantai utara sedangkan dari segi transportasi, lokasi Krapyak cukup baik karena waktu itu transportasi yang cukup cepat dan hanya dapat dilakukan melalui sungai yang dapat dilayari perahu atau rakit. Kedua, lahan daerah Krapyak cukup subur dan dekat dengan sumber air sehingga sangat memungkinkan bagi berlangsungnya kehidupan penduduk.

Berkat kepemimpinan Tumenggung Wiraangun-angun, daerah ini mengalami kemajuan yang pesat. Namun, Pada abad ke-19 tepatnya pada tanggal 25 Mei 1811 Gubernur Jendral Daendels memerintahkan untuk mengadakan pemindahan ibukota kabupaten dari Krapyak ke utara karena Krapyak selalu dilanda banjir dan dalam rangka pembangunan jalan raya pos (Groote postweg), yaitu jalan raya yang menghubungkan ujung barat dan ujung timur sepanjang 1000 km yang di Priangan sendiri, jalan raya tersebut membentang dari Cianjur melalui Kabupaten Badung ke Sumedang. Namun demikian, jalan raya pos tersebut ternyata tidak melalui Krapyak melainkan 10 km di sebelah utara Krapyak sebagai jalan poros.

Untuk mempercepat proses pemindahan ibukota tersebut maka Daendels mengirim utusannya dengan maksud menyampaikan usul dan perintah agar kabupaten dipindahkan dari tempat semula di tepi sungai Citarum ke sebelah utara. Perintah tersebut ternyata ditolak, bahkan salah seorang petinggi pemerintahan waktu itu, Tubagus Anom menentang dengan keras rencana Gubernur Jendral Daendels itu sehingga ia ditangkap dan akhirnya di hukum mati. Untuk kedua kalinya Belanda mengirim utusan dengan maksud berunding dan memecahkan masalah tersebut. Akhirnya setelah dilaksanakan perundingan, maka kabupaten dipindahkan. Adapun daerah yang dijadikan pemerintahan baru itu terletak di bagian tengah wilayah Bandung dengan memiliki tingkat kesuburan tanah yang tinggi, dekat dengan sumber air, dikelilingi gunung dan pegunungan serta berada di titik poros Jalan Raya Pos yang sedang dibangun. Dengan demikian, dari berbagai segi, tempat itu sangat baik untuk ibukota dan pemukiman.

Setelah ibukota dipindahkan ke utara, di pinggir Groote Postweg yang baru, maka Karpyak ditinggalkan sehingga segala hal yang menyangkut kehidupan pemerintahan dan perekonomian beralih ke daerah baru. Oleh karena itu, kota lama (Krapyak) namanya diganti menjadi Dayeuh kolot (dalam Bahasa Sunda Dayeuh berarti kota, kolot berarti lama/tua). Orang-orang Belanda menyebutnya dengan Oude Negorij atau negeri lama (Robert Vaskuil, 2007: 10).

Kini, Dayeuh kolot merupakan salah satu kecamatan yang berada di Kabupaten Bandung, tepatnya di Bandung Selatan dengan luas wilayah 985.149,5 ha. Secara astronomis Kecamatan Dayeuh kolot terletak pada 107 035’24’’-107037’48’’ Bujur Timur dan 6057’36’’-6059’24’’ Lintang Selatan. Secara administrasi Kecamatan Dayeuh kolot termasuk wilayah Kabupaten Bandung yang berbatasan langsung dengan:

1. Kotamadya Bandung di sebelah utara

2. Kecamatan Bojongsoang di sebelah timur

3. Kecamatan Baleendah di secelah selatan

4. Kecamatan Margahayu di sebelah barat (Profil Kecamatan Dayeuh Kolot Tahun 2008 dan hasil wawancara dengan Bapak Atiek).

Secara geografis letak Kecamatan Dayeuh kolot sangat strategis karena merupakan salah satu daerah penyangga antara pusat kota dengan daerah di sekitarnya. Selain itu, Dayeuh kolot dilalui oleh jalur jalan raya yang menghubungkan Kota Bandung dengan wilayah Bandung Selatan. Jarak tempuh Dayeuh kolot dari Kota Bandung adalah 13 km dengan waktu tempuh sekitar satu jam.

Peta 4.1

Peta Kecamatan Dayeuh kolot

(Sumber: diolah dari profil Kecamatan Dayeuh kolot dan hasil wawancara dengan Bapak Atik tanggal 28 Januari 2008).

Secara historis, ditinjau dari letaknya pada tahun 1946, daerah ini merupakan daerah yang strategis karena merupakan penghubung antara wilayah kekuasaan Belanda di sebelah utara dan kekuasaan Indonesia di sebelah selatan. Hal itu didukung dengan dijadikannya Dayeuh kolot sebagai tempat penyimpanan amunisi Belanda di kawasan Bandung Selatan dan sebagai tempat pertahanan terdepan pejuang Indonesia (http://yulian.firdaus.or.id). Letak Dayeuh kolot yang strategis itu di dukung pula dengan adanya alat transportasi yang memungkinkan para penduduknya untuk mengunjungi tempat lain. Transportasi yang dimaksud adalah mobil, kereta kuda dan sepeda. Dayeuh kolot dilalui oleh sungai besar yaitu sungai Citarum.

Iklim di Dayeuh kolot yaitu tropis agak basah (farrly wet) dengan suhu 280 C- 320 C. Dayeuh kolot memiliki curah hujan yang tinggi yaitu 2.102 mm/t sehingga tidak heran apabila daerah ini berpotensi untuk menghasilkan hujan yang lebih banyak. Disamping itu, ditinjau dari kondisi topografinya, Dayeuh kolot terletak pada ketinggian 600 m dpl dengan wilayah yang relatif datar sehingga wilayah Dayeuh kolot rentan dilanda banjir. Hal itu pula yang dijadikan salah satu faktor penyebab dipindahkannya ibukota kabupaten ke wilayah pinggir Groote Postweg, Bandung.

Pada umumnya wilayah Dayeuh kolot pada tahun 1946 masih didominasi oleh hamparan tanah yang ditumbuhi tanaman liar disamping wilayah pertanian yang dialiri sungai Citarum yang melewati daerah tersebut. Penduduk Dayeuh kolot sebagian besar terdiri dari etnis Sunda, tetapi ada juga yang berasal dari etnis Jawa dan Tionghoa. Adapun agama yang dianut oleh sebagian besar penduduk Dayeuh kolot adalah agama Islam, dan sebagian kecil penduduk Dayeuh kolot menganut agama Protestan dan Kong Hu Chu.

Ketika terjadinya peristiwa Bandung Lautan Api yang mengakibatkan adanya pengungsian besar-besaran ke wilayah Bandung Selatan, daerah ini dijadikan salah satu tujuan pengungsian sehingga menyebabkan bertambahnya jumlah penduduk pada masa itu. Namun demikian, pertambahan jumlah penduduk tidak berlangsung lama setelah daerah itu diduduki oleh tentara Sekutu. Sebagian besar penduduk pindah ke wilayah yang lebih aman seperti Banjaran, Majalaya, Garut dan lain-lain. Oleh karena itu, secara drastis jumlah penduduk Dayeuh kolot pada waktu itu menurun (wawancara dengan Bapak Atik tanggal 28 Januari 2008).

Dayeuh Kolot Diduduki Sekutu

Setelah Kota Bandung di kosongkan, pada tanggal 25 Maret 1946 tentara Inggris (Sekutu) memasuki kawasan Bandung Selatan. Dengan dikuasainya Kota Bandung dan sekitarnya, tugas pasukan Sekutu menduduki kota-kota penting di Jawa Barat telah selesai. Tercapai pulalah rencana strategi pendudukan Sekutu, untuk menyiapkan Jawa Barat sebagai wilayah pangkalan yang sekaligus kekuasaan pemerintah kolonial Belanda di Indonesia (Adeng, 1995: 87).

Dikuasainya Bandung tidaklah menyurutkan Sekutu dalam melakukan penyerangan untuk memperluas kekuasaan, Sekutu mencoba memperluas kekuasaannya dengan melewati batas kota yang telah ditentukan (Lasjkar, 5 Maret 194, hal 1 kol 3). Sekutu mulai melakukan penyerangan terhadap kawasan luar Bandung, seperti Bandung Barat dan Bandung Timur. Tetapi, tidak ada perlawanan yang berarti dari pihak Indonesia karena keadaan pada saat itu terdesak sehingga pihak Indonesia mundur. Namun demikian, dalam keadaan mundur para pejuang Indonesia telah bersiap-siap menghadapi segala kemungkinan.

Setelah upaya perluasan kekuasaan ke wilayah Barat dan Timur Bandung berhasil dilaksanakan, maka Jenderal Hawthorn, panglima tentara Sekutu di Bandung berusaha menduduki Dayeuh kolot, sebagaimana dinyatakan dalam Iriwadi dan Amrin Imron (1985: 161) bahwa:Setelah Bandung dikuasai Sekutu, sifatnya yang kolonialistis itu mendorongnya untuk meluaskan gerakannya ke arah selatan sehingga Dayeuh kolot pun mereka duduki“.

Peta 4.3

Dayeuh kolot pasca diduduki Sekutu

(Sumber: diolah dari Iriwadi dan Amron Imron. Peranan Pelajar Dalam Perang Kemerdekaan. 1985: 123., dan hasil wawancara dengan Bapak Atik tanggal 28 Januari 2008).

Dayeuh kolot memiliki nilai penting bagi Sekutu dan Belanda, karena merupakan daerah langsung yang berbatasan dengan daerah kekuasaan para pejuang Indonesia. Disamping itu, di Dayeuh kolot terdapat sebuah bangunan bertingkat dua yang semula adalah gudang penyimpanan alat-alat listrik bagi wilayah Priangan sehingga gedung itu disebut gedung listrik. Oleh Sekutu dan Belanda gedung itu dijadikan gudang penyimpanan senjata, mesiu, bahan peledak, dan perlengkapan militer lainnya. Mengenai gudang ini, Barisan Banteng Republik Indonesia wilayah Priangan memberi penjelasan bahwa:

“...kira-kira 200 m sebelah timur dari jembatan Citarum, Dayeuh kolot nampaklah sebuah bangunan bertingkat dua, terbuat daripada beton, yang dahulu dipergunakan sebagai gedung pusat penyimpanan alat-alat listrik daerah Priangan. Pada waktu yang akhir-akhir ini gedung itu dijelmakan menjadi benteng pertahanan musuh yang kokoh kuat. Dari peluru meriam dan mitraliur ke arah pertahanan pemuda-pemuda. Hal inilah yang menimbulkan amarahnya pemuda Bandung, keadaan gedung yang letaknya jelas menjulai itu mencolok...selain dari pada gedung itu, adalah pula sebuah beton yang letaknya tidak jauh dari gedung listrik tadi. Adapun letaknya di kampung Pesayuran dan di jaman Belanda dipergunakan sebagai tempat penyimpanan alat-alat perang“. (Ekadjati, 1981: 259).

Dalam upaya penyerangan yang dilakukan Sekutu dan Belanda terhadap kawasan Bandung Selatan, gudang ini menjadi tempat yang amat penting bagi Sekutu sebagai pertahanan terdepan menghancurkan pos-pos pertahanan para pejuang Indonesia di kawasan Selatan Bandung (wawancara dengan Bapak Sule Sulaeman tanggal 9 September 2008).

Didudukinya Dayeuh kolot senantiasa mempermudah akses untuk menguasai secara keseluruhan kawasan Bandung selatan. Surat kabar Boeroeh yang terbit pada saat itu mengabarkan bahwa pada tanggal 27 Maret 1946 telah mulai terdengar dentuman meriam yang digambarkan sebagai suatu pertempuran yang terjadi di Dayeuh kolot ke arah selatan (Boeroeh, 28 Maret 1946. hal 2 kolom 1-3).

Serangan-serangan terus dilakukan pihak Sekutu dan Belanda setelah mereka menguasai Dayeuh kolot sehingga situasi daerah itu penuh dengan ketegangan. Didudukinya Dayeuh kolot oleh Sekutu dan Belanda mengakibatkan lumpuhnya kegiatan roda pemerintahan, ekonomi dan pertahanan karena sarana dan prasarana banyak mengalami kerusakan berat akibat seringnya terjadi penyerangan dan pengeboman yang dilakukan oleh tentara Sekutu dan Belanda terhadap Dayeuh kolot sehingga penduduk setempat sebagian besar melakukan pengungsian ke selatan yaitu Pameungpeuk, Ciparay dan Banjaran. Dengan ditinggalkannya Dayeuh kolot oleh penduduk maka daerah ini sampai sekarang hanya memiliki sedikit penduduk yang benar-benar asli. Hal senada diungkapkan oleh Bapak Sulaeman dalam pernyataan berikut ini:

“Sekarang mah nggak ada penduduk Dayeuh kolot yang benar-benar dari dulu menetap disini. Kalaupun ada, paling itu cuma sedikit...da yang bapa tahu mereka pada ngungsi karena kondisi perang. Kondisi Dayeuh kolot pada waktu itu sangat terancam, Inggris terus-menerus melancarkan serangan ke Dayeuh kolot sehingga wargapun banyak yang meninggalkan rumahnya karena merasa tidak aman untuk tinggal di sana dengan kondisi yang semakin genting... Tidak ada kegiatan apapun yang dilakukan di sana, walaupun awalnya Dayeuh kolot adalah pangkalan bagi pejuang kita...setelah kejadian itu, para pejuang kita memindahkan pangkalan ke Baleendah. Di sanalah para pejuang, baik itu laskar ataupun yang lainnya berupaya mengembalikan kembali daerah yang telah diduduki “(wawancara tanggal 9 September 2008).

Para pemuda pejuang maupun rakyat yang meninggalkan Dayeuh kolot pergi meninggalkan rumah tanpa membawa barang berharga, mereka pergi membawa barang seadanya sehingga dengan dikosongkannya Dayeuh kolot oleh penduduknya, maka rumah-rumah yang kosong banyak dirampok (wawancara dengan Bapak Sule Sulaeman tanggal 9 September 2008).

Didudukinya Dayeuh kolot tidak menyulutkan semangat pemuda Indonesia yang berada di wilayah Bandung Selatan untuk berusaha merebut kembali Dayeuh kolot dari pihak Sekutu dan Belanda. Pada tanggal 13 April 1946 terjadi kontak senjata antara Sekutu dan Belanda dengan pejuang Indonesia di Dayeuh kolot selama enam jam dengan menewaskan dua serdadu Belanda dan beberapa orang luka-luka. (Berita Indonesia. 25 April 1946). Upaya merebut Dayeuh kolot ini merupakan bagian dari upaya untuk merebut kembali kota Bandung. Oleh karena itu, peristiwa meledaknya gudang mesiu Dayeuh kolot ini tidak dapat dilepaskan dari peristiwa sebelumnya.

Sementara itu terjadilah suatu peristiwa pemindahan kekuasaan militer dari tangan Sekutu kepada Belanda pada tanggal 15 April 1946 dibawah pimpinan Kolonel Meyer (Lasjkar. 3 Djoeni 1946. hal 2, Kolom 4). Dengan adanya peristiwa tersebut semakin jelaslah bahwa pengembalian penjajahan atau kekuasaan ke tangan Belanda merupakan bentuk kerjasama antara Sekutu dan Belanda. Dengan demikian, Belanda sepenuhnya kembali menjajah Republik Indonesia. Sehubungan dengan peristiwa pemindahan kekuasaan dari tangan Inggris ke tangan Belanda, A.H Nasution (1978: 189) menungkapkan bahwa:

“...Bandung Selatan kemudian diserahkan oleh Divisi ke-23 kepada Belanda. Disinilah Brigade V di bawah pimpinan Kolonel Meyer ditugaskan. Dan buat pertama kali kita langsung berhadapan dengan Belanda di daerah Bandung. Terbukti mereka jauh lebih ganas dari tentara Inggris-India“.

Pemindahan kekuasaan tersebut dimaksudkan untuk melancarkan perang, yaitu sebagai usaha penaklukan terhadap rakyat Indonesia. Dengan maksud itulah Belanda berusaha melancarkan serangan ke segenap penjuru tanpa pembatasan-pembatasan lagi (Lasjkar. 26 April 1946). Dalam usaha memulihkan kekuasaannya, Belanda sangat aktif melakukan perang psikologis dan agitasi politik. Artinya, Belanda berusaha mencampuri urusan-urusan politik pemerintahan. Hal ini tentunya berbeda dengan Inggris (Sekutu) yang tidak mau mencampuri urusan pemerintahan sipil (Nasution, 1978:190).

Dalam kedudukannya di Bandung, Belanda melakukan patroli dengan aktif dan intensif. Selain itu Belanda lebih fanatik, mereka tidak puas dengan menduduki bangunan-bangunan penting dan jalan-jalan utama, tetapi juga melakukan penjagaan ketat. Pada tanggal 1 Mei Belanda melakukan penyerangan terhadap pos pertahanan Indonesia yang berkedudukan di Dayeuh kolot, sehingga terjadi kontak senjata. Tercatat 100 kali tembakan senjata berat ke daerah Dayeuh kolot. Peristiwa penyerangan tersebut menewaskan 5 orang warga sipil Indonesia (Merdeka. 2 Mei 1946).

Pada tanggal 27 Mei 1946 tentara Sekutu secara resmi meninggalkan kota Bandung. Sebagaimana halnya di kota-kota lain di Indonesia, kota Bandung diserahkan oleh Sekutu kepada tentara Belanda. Penyerahan tersebut tidak hanya dalam bidang militer, akan tetapi juga dalam bidang politik pemerintahan. Dalam bidang militer, segala tanggung jawab mengenai keamanan dan ketertiban di dalam maupun di luar kota Bandung telah menjadi kewajiban tentara Belanda beserta pemerintahan sipilnya.

Pada tanggal 29 Mei 1946, tentara sekutu meninggalkan Kota Bandung. Sebagaimana halnya di kota-kota lain di Indonesia, Kota Bandung diserahkan oleh Inggris kepada tentara Belanda (NICA). Penyerahan tersebut tidak hanya dalam bidang militer saja, tetapi juga dalam bidang politik pemerintahan. Dalam bidang militer, segala tanggung jawab mengenai keamanan dan ketertiban di dalam maupun di luar Kota Bandung telah menjadi kewajiban tentara Belanda beserta pemerintahan sipilnya. Pada saat itu Inggris (Sekutu) menyerahkan mobil-mobil, perlengkapan perang dan persenjataan kepada Belanda.

Tembak-menembak pada saat itu masih sering terjadi, tentara Belanda berulangkali berusaha menguasai jembatan Citarum akan tetapi karena pertahanan rakyat sangat kuat di daerah tersebut, maka Belanda mengalami kegagalan dalam usahanya itu. Dalam berita yang dimuat dalam surat kabar Berdjoeang dikemukakan bahwa, pada tanggal 29 Mei 1946 sekitar pukul 08.30 Belanda menerobos garis pertahanan rakyat di Buah batu. Mereka menggunakan kendaraan sebanyak 27 truk yang didahului oleh gerakan mata-mata yang menyamar sebagai tentara Indonesia. Dalam perjalanan menuju Sapan, pasukan Belanda melepaskan tembakan-tembakan sehingga terjadi pertempuran yang terjadi sampai pukul empat sore. Setelah itu, pasukan Belanda mengundurkan diri karena mereka tidak mampu menahan serangan balasan dari Barisan Rakyat. Dikabarkan dua orang diantara mereka tewas dan puluhan orang menderita luka-luka. Pada sore itu juga Belanda melepaskan tembakan, yaitu serangan balasan dari Belanda ke daerah Kulalet sehingga di daerah ini pun terjadi lagi pertempuran. Belanda kerap kali melakukan serangan-serangan ke wilayah selatan sehingga kedudukan pejuang semakin terdesak. Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Sulaeman (7 September 2008), serangan-serangan yang dilakukan Belanda ini didukung dengan persenjataan yang kuat yang bersumber di gudang mesiu Dayeuh kolot. Belanda menggunakan gudang mesiu ini sebagai dasar penyerangan untuk melumpuhkan kekuatan pejuang di Bandung Selatan.

Muhamad Toha merasa kesal dengan tindakan-tindakan Belanda, sehingga ia berniat untuk menghancurkan gudang mesiu itu. Oleh karena itu, ia menyampaikan rencananya untuk menghancurkan gudang mesiu itu kepada atasannya. Akan tetapi, atasannya tidak menyetujui rencana Muhamad Toha tersebut sehingga ia memutuskan untuk pergi ke Garut. Namun demikian, tekadnya untuk menghancurkan gudang mesiu itu semakin kuat sehingga pada tanggal 8 Juli 1946 Muhamad Toha kembali ke Bandung dan besoknya ia menyampaikan permohonannya kembali dan akhirnya diterima. Komandan MP3 Soetoko kemudian menindaklanjuti permohonan Muhamad Toha dengan mengadakan pertemuan dengan semua badan perjuangan yang bermarkas di Ciparay di rumah Bapak Utju, seorang anggota Pesindo yang kaya yang menjadikan rumahnya sebagai markas perjuangan pertahanan priangan (MP3) (sekarang di Jalan Empang). Adapun hasil dari pertemuan tersebut adalah:

1. Tanggal 10 Juli 1946 pusat pertahanan Belanda di Bandung Selatan harus dihancurkan dengan cara meledakkan gudang mesiu yang terletak di Dayeuh kolot.

2. Dikerahkan perwakilan dari tiga kelaskaran untuk menjalankan penghancuran gudang mesiu Dayeuh kolot.

Berdasarkan hasil kesepakatan tersebut, diputuskan bahwa ketiga kesatuan itu adalah Barisan Banteng Republik Indonesia (BBRI), Hisbullah dan Barisan Pangeran Papak. Dari ketiga laskar tersebut, hanya sebelas orang yang diberi mandat untuk melaksanakan tugas menghancurkan gudang mesiu yang dibentuk dalam suatu formasi kecil karena tidak mungkin dengan pasukan besar mengingat Dayeuh kolot adalah wilayah terbuka dan kedudukan musuh lebih strategis.

Kesebelas orang tersebut kemudian berangkat dari Ciparay untuk melaksanakan tugas. Tugas yang diemban oleh kesebelas orang tersebut sangatlah berat, namun dengan tekad yang kuat disertai kemampuan mengenal medan yang baik maka merekapun berangkat. Kesebelas orang tersebut dilengkapi dengan persenjataan berupa karaben dan pistol serta setiap anggota pasukan membawa dua atau tiga granat yang digantungkan di pinggang masing-masing (Riva’i, 1983: 136).

Peta 4.4

Rute perjalanan Muhamad Toha dkk dalam misi peledakan gudang mesiu Dayeuh kolot

(Sumber: diolah dari Riva’i. Tanpa Pamrih Kupertahankan Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945. 1983: 136-137 dan hasil wawancara dengan Bapak Suntana tanggal 7 November 2007).

Seperti terlihat pada peta 4.4 bahwa Sebelum tiba ke tempat tujuan, terlebih dahulu mereka singgah di Pasir Cina. Hal itu dituturkan oleh Lettu purn. S. Abbas (Riva’i, 1983: 136), komandan Seksi III Kompi III, Barisan Pemberontak Rakyat Indonesia bahwa:

Pada sore hari tanggal 9 Juli 1946 pasukan BPRI yang bertahan di Pasir Cina yang terletak di seberang kali Citarum bagian Timur Dayeuh kolot menerima tamu dari Ciparay yang terdiri dari dua regu pasukan yang masing-masing dipimpin oleh Muhamad Toha dari BBRI, dan Achmad dari BPRI-Pangeran Papak.

Komandan S. Abbas kemudian melaporkan kedatangan dan tujuan pasukan Muhamad Toha kepada komandan Batalyon BPRI Muhamad Riva’i. Kemudian Muhamad Riva’i menugaskan S. Abbas untuk mendampingi pasukan Muhamad Toha. Selanjutnya dijelaskan dalam buku Rivai (1983: 136) bahwa pasukan Muhamad Toha tidak membawa perbekalan untuk makan sehingga S.Abbas memberikan makanan yang merupakan persediaan terakhir pasukannya kepada Muhamad Toha. Pada malam hari Muhamad Toha melakukan percakapan dengan S. Abbas. Percakapan itu direkonstruksi oleh S. Abbas (1983: 136) sebagai berikut:

“Bang, mana tahu entah ajal saya tiba, tolong sampaikan salam maaf saya terhadap ibu saya. Katakan bahwa saya dengan segala keikhlasan hati menjalankan tugas ini, demi kepentingan tanah air dan bangsa. Demikian toha mulai pembicaraan.

“Insya Allah, pesanmu akan kusampaikan, kalau umurku panjang dan kalau kami bertemu. Tapi untuk tunanganmu ada pesan atau tidak? Tanya S. Abas.

Lalu Muhamad Toha menjawab “Ya, untuk dia juga“. Tapi bang, kami tidak akan menikah kalau kemerdekaan sepenuhnya belum tercapai.

Oh Begitu! Toha, kau yakin tugas ini akan sukses? Ya, sepenuhnya aku yakin! Gudang mesiu musuh itu pasti akan hancur lebur!.

Berdasarkan penuturan dari S. Abbas, maka pasukan Muhamad Toha mendapat penjagaan dari pasukan BPRI. Pada pukul 00.30 malam, pasukan Muhamad Toha dengan penjagaan pasukan BPRI secara menyebar bergerak mencapai tempat penyeberangan Dayeuh kolot yang letaknya dekat dengan gudang mesiu Belanda yang merupakan sasaran utama. Penyeberangan itu berjalan selamat, sementara pasukan BPRI bertahan di belakang desa Dayeuh kolot. Dikabarkan bahwa 25 menit kemudian terdengar suara ranjau meledak bersamaan dengan suara tembak menembak antara pihak Belanda dan pasukan Muhamad Toha.

Kontak antara pihak Belanda dan pihak Muhamad Toha menyebabkan banyak korban di pihak Muhamad Toha sehingga mereka kembali kecuali Muhamad Toha dan Muhamad Ramdan. Muhamad Toha sendiri tetap bertahan dengan kondisi luka parah di paha bahkan terus berjuang untuk masuk ke gudang mesiu (wawancara dengan Warta yang dikutip dari Riva’i dan Suntana tanggal 15 November 2007). Komandan Riva’i yang mendengar laporan bahwa Muhamad Toha tetap bertahan di sekitar gudang mesiu meski dalam keadaan terluka memerintahkan agar S. Abbas mengadakan serangan ke tentara Belanda dari jurusan lain untuk mengalihkan perhatian tentara Belanda dan melapangkan bagi Muhamad Toha untuk menghancurkan gudang mesiu. Menurut S. Abbas, perintah Komandan Riva’i dilaksanakan pukul 9 pagi. Dengan menghindar ke arah timur sekitar 100 m, pasukan S.Abbas melakukan serangan ke arah gudang mesiu sehingga terjadi pertempuran antara pihak S.Abbas dengan tentara Belanda. Sekitar pukul 12.30 terdengar suara dahsyat yang mengejutkan seluruh warga kota, bahkan terdengar hingga 70 km dari pusat ledakan.

Disadari atau tidak, peristiwa yang terjadi pada tanggal 10 Juli 1946 di Dayeuh kolot telah berdampak serius terhadap seluruh kehidupan terutama aspek pertahanan dan keamanan pada masyarakat Bandung, khususnya Dayeuh kolot. Secara tidak langsung peristiwa meledaknya gudang mesiu Dayeuh kolot ini tidak hanya berdampak terhadap pada orang-orang yang terlibat sebagai korban utamanya, tetapi juga telah berdampak langsung terhadap kondisi kehidupan sosial, ekonomi dan politik masyarakat di Bandung Selatan.

Menurut A.H Nasution (1978: 431), terdapat 1.100 ton mesiu yang meladak sehingga mengakibatkan 18 orang meninggal dan lebih dari 50 orang menderita luka-luka serta dua kampung habis terbakar disamping bengunan-bangunan penting milik Belanda yang ikut terbakar. Di tempat penimbunan amunisi itu sendiri terjadi lubang yang luasnya sekitar 100x60 m. (Robert Vaskuil, 2007: 165 ).

Setelah peristiwa meledaknya gudang mesiu Dayeuh kolot, kegiatan perekonomian di Dayeuh kolot lumpuh total. Tidak ada kegiatan perekonomian yang dilakukan oleh masyarakat karena pada waktu itu jalan-jalan yang berada di Dayeuh kolot dipasifkan. Walaupun sebelum peristiwa meledaknya gudang mesiu terjadi, perekonomian di wilayah ini berkembang sangat lambat akibat ditinggalkan penduduknya. Dengan adanya peristiwa meledaknya gudang mesiu ini, situasi perekonomian semakin lumpuh. Sawah-sawah terlantar akibat tidak ada yang mengurus sehingga pertanian di daerah ini banyak mengalami kegagalan (wawancara dengan Bapak Atik dan Sule Sulaeman).

Dalam bidang militer, surat kabar Merdeka (12 Juli 1946. Hal 1, kolom 1) mengabarkan bahwa beberapa saat setelah meledaknya gudang mesiu tersebut, tentara Belanda langsung mengerahkan tentaranya untuk melakukan penyerangan secara besar-besaran ke daerah Selatan Dayeuh kolot, tempat dimana terdapat pos-pos pejuang Bandung seperti yang diberitakan oleh surat kabar Merdeka (12 Juli 1946 Hal 1, kolom 1) bahwa:

Djam 17.30 sebuah pesawat terbang Belanda sebagai serangan pembalasan mendjatoehkan granat-granat dan bom di dekat Pamongpeuk, Banjaran...letoesan-letusan terdjadi...Beberapa orang penduduk mati dan loeka-loeka.

Hancurnya tempat penyimpanan amunisi Belanda untuk kawasan Bandung Selatan ini ternyata bukan melemahkan kekuatan Belanda malah semakin intensifnya Belanda melakukan penyerangan ke daerah selatan Dayeuh kolot. Penyerangan dilakukan secara terus menerus selama berhari-hari sehingga keadaan semakin tidak menentu.

Sejarah sebagai rangkaian peristiwa atau kejadian tidak berdiri sendiri satu sama lainnya. Terjadinya suatu peristiwa disebabkan oleh peristiwa yang mendahuluinya yaitu faktor penyebab. Peristiwa senantiasa dipandang sebagai suatu akibat dari pertemuan dan pertentangan antara golongan yang satu dengan golongan yang lain. Dalam sejarah terjadinya suatu peristiwa disebabkan adanya sebab dan akibat. Berdasarkan pemikiran teori Kausalitas, maka peristiwa timbul disebabkan oleh adanya serangkaian peristiwa yang mendahuluinya. Peristiwa yang mendahuluinya secara konkrit berupa rentetan Peristiwa Bandung Lautan Api serta diduduki dan dijadikannya Dayeuh kolot sebagai basis kekuatan Belanda di Bandung Selatan yang menyebabkan kekuatan pemuda Indonesia menjadi terdesak dan keadaan keamanan yang terus-menerus tidak kondusif karena tentara Belanda selalu melakukan upaya penyerangan terhadap daerah Bandung Selatan. Peristiwa meledaknya gudang mesiu Dayeuh kolot sebagai kajian dalam tulisan ini adalah merupakan akibat dari pertentangan antara pihak Sekutu dan Belanda dengan pihak Indonesia. Kedudukan Belanda di Bandung terutama di Dayeuh kolot telah mengancam dan meresahkan keamanan masyarakat setempat terutama para pejuang, tekanan yang terus dilakukan oleh pihak Belanda yang dilakukan secara terus-menerus mengakibatkan muncul gagasan dari para pemuda Bandung seperti Muhamad Toha untuk menghancurkan pusat pertahanan Belanda yang berada di Dayeuh kolot. Untuk seterusnya adanya peristiwa meledaknya gudang mesiu Dayeuh kolot ini membawa pengaruh atau akibat terhadap munculnya peristiwa dibelakangnya, yaitu adanya upaya serangan balasan yang dilakukan secara besar-besaran yang dilakukan tentara Belanda terhadap kekuatan Indonesia di Bandung Selatan.

Peristiwa meledaknya gudang mesiu Dayeuh kolot 1946 adalah salah satu bukti dari bentuk kemarahan sekelompok orang terhadap kedudukan Belanda di Dayeuh kolot yang selalu mengintimidasi dan menyerang daerah di kawasan Bandung Selatan. Dalam hal ini meledaknya gudang mesiu Dayeuh kolot adalah suatu cara untuk melemahkan kekuatan Belanda yang berada di Dayeuh kolot dimana Daerah ini merupakan pusat kekuatan Belanda di Bandung Selatan. Tindakan peledakan gedung mesiu Dayeuh kolot juga merupakan suatu tindakan jawaban para pemuda Bandung Selatan yang menggambarkan semangat patriotik karena seperti dikemukakan di atas bahwa sebagai cara yang dapat diambil untuk menghancurkan Belanda adalah menghancurkan pusat pertahanannya yaitu Dayeuh kolot. Semangat patriotik dalam peristiwa meledaknya gudang mesiu Dayeuh kolot merupakan suatu yang dapat dibanggakan dalam perkembangan sejarah Kabupaten Bandung pada khususnya dan masyarakat Indonesia pada umumnya.

Selasa, 27 Januari 2009

Sejarah Majalaya

Majalaya, kota yang menyimpan begitu banyak pesona. Keindahan alam yang dimiliki oleh kota ini memikat pendatang terutama orang Belanda yang salah satu diantaranya adalah William van Kadda (nama ini diabadikan pada sebuah daerah di Majalaya yaitu Kadatuan/tuan kadda). Dengan dikuapnya pesona yang digali oleh William van Kadda tersebut, membuat orang berdatangan ke daerah itu terutama dari daerah Priangan. Pada tahun 1800 secara resmi kota ini didirikan oleh pemerintahan Belanda.
Pada pertengahan abad ke-19 di kota ini berdiri industri-industri tekstil yang dimotori oleh oleh orang Belanda namun tidak bertahan lama akibat krisis keuangan yang menimpa dunia pada saat itu berimbas pada perekonomian Hindia-Belanda. Namun demikian, pada pertengahan abad ke-20 tepatnya tahun 1930-an muncul pengusaha-pengusaha lokal seperti Ondjo Argadinata. Mereka mendirikan industri tenun rumahan yang masih menggunakan tustel (alat tenun bukan mesin). Keterlibatan buruh-buruh di pabrik-pabrik tenun pada awal tahun 1930-an memberi bekal mereka untuk membuka usaha tenun sendiri. Saat pasar semakin terbuka mereka dengan mudah mengambil kesempatan tersebut karena modal yang diperlukan untuk membeli alat tenun masih murah dan bahan baku bisa diperoleh dari para pengusaha seperti putting out system. Pada masa-masa berikutnya industri tenun rumahan semakin menjamur di mana-mana. Hampir setiap penduduk Majalaya memiliki peralatan tenun dan membuka usaha tenun sendiri. Pada tahun 1937, industri tekstil Majalaya memulai fase baru yang lebih baik dengan berdiri pabrik ATM pertama di Majalaya, yakni pabrik Tawakal milik H. Abdul Ghani. Dukungan terhadap perkembangan industri Majalaya semakin membaik, ketika jalur kereta api dari Bandung ke Majalaya diperluas. Kondisi ini disikapi oleh para pengusaha Cina sebagai peluang untuk berinvestasi, dengan membangun beberapa pabrik tekstil di Majalaya. Berdirilah pabrik Cina pertama "Bintang Tujuh" ang diikuti oleh pengusaha Cina lainnya. Inilah awal mula Majalaya mengukirkan sejarah sebagai Kota Tekstil, yang mampu menghasilkan aneka ragam produk tekstil seperti sarung, kain untuk bahan pakaian, handuk, benang, kain kasur dan lain-lain. Saat itu betul-betul merupakan masa keemasan bagi Majalaya. Bahkan dengan kemakmuran yang dimiliki, Majalaya menjadi kota tekstil yang terkenal tidak hanya di Indonesia bahkan dunia, kota ini pun mendapat julukan baru sebagai Kota Dollar. Kota yang perputaran uangnya sangat tinggi. Kemajuan dan ketenaran Majalaya sebagai kota kecil penghasil industri tekstil membuat kepincut Wakil Presiden RI saat itu, Bung Hatta, untuk meninjau secara langsung keberadaan industri tekstil di Majalaya. Pada tahun 1942, bersamaan dengan penjajahan Jepang atas Indonesia, kondisi industri tekstil mulai memburuk. Jepang melarang masuknya impor bahan baku dan bahan pewarna. Bahkan semua industri tekstil di Majalaya diambil alih dan berada di bawah kontrol yang sangat ketat dari militer Jepang. Setelah Indonesia merdeka, Majalaya dijadikan Pemerintah Indonesia sebagai pusat tekstil nasional guna memenuhi kebutuhan sandang, yang waktu itu masih ditopang dari impor.Memang, pasca-kemerdekaan, tepatnya pada tahun 1960-an, industri tekstil Majalaya sempat bangkit kembali. Penelitian Matsuo H (The Development of Javaneses Cotton Industry, 1970) menyebutkan, industri tenun Majalaya mencapai puncaknya pada awal 1960-an. Waktu itu mereka memproduksi 40 persen dari total produksi kain di Indonesia. Akhir 1964, Majalaya menguasai 25 persen dari 12.882 alat tenun mesin (ATM) di Jawa Barat. Hampir seluruhnya terkonsentrasi di Desa Majalaya dan Padasuka (saat ini dimekarkan menjadi tiga desa: Sukamaju, Padamulya, dan Sukamukti).(Palmer, 1972 dan Matsuo, 1970). Namun, hal ini merupakan kemajuan secara umum karena jika ditelusuri pada saat yang sama para pengusaha tenun lokal sudah mulai kehilangan pengaruhnya dan untuk mempertahankan kelangsungan produksi banyak perusahaan lokal yang beralih ke sistem maklun. Industri tenun rumahan juga sudah mulai tergeser dan bangkrut karena tidak mampu bersaing dengan produk yang dihasilkan oleh ATM. Namun, peralihan dari Orde Lama ke Orde Baru (1965-1979) menjadi awal kemunduran tekstil Majalaya. Mereka beralih melakukan kegiatan usaha yang sangat marginal, seperti pembuatan kain lap, urung kasur, dsb. Saat itu, pemerintahan RI di bawah kendali Soeharto menerima bantuan dari International Monetery Funds (IMF) dan mengeluarkan UU No. 1 tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing ({PMA). Disusul setahun kemudian dengan dikeluarkannya UU No. 6 tahun 1968 mengenai Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN). Kenyataan ini telah menjadi "bom yang mematikan bagi industri tekstil milik pribumi, karena tidak mampu bersaing dengan para pengusaha tekstil Cina. Baik dalam manajemen, marketing, penguasaan pasar, maupun permodalan. Inilah awal mula mundurnya industri tekstil kaum pribumi, dan sebagai akhir dari masa kejayaan yang telah mereka perjuangkan dengan penuh ketekunan, semangat, dan keuletan. Kemunduran yang dikalahkan oleh sistem dan aturan.Oleh karena itu, pada masa tersebut dapat dikatkan sebagai masa keemasan Majalaya. Sejak tahun 1970-an banyak pabrik-pabrik pribumi yang dijual terhadap pengusaha asing atau WNI nonpribumi. Penjualan pabrik ini merupakan titik akhir dari rangkaian proses pengambilalihan perusahaan pribumi oleh pengusaha asing atau WNI nonpribumi. Di era tahun 1973-1981 Indonesia mengalami masa oil boom dan sifat industrialisasinya sangat eksklusif pada substitusi impor. Faktor-faktor yang menentukan orientasi ke dalam adalah menumpuknya permintaan konsumen yang belum terpenuhi, cepatnya pertumbuhan ekonomi dalam negeri yang dimotori oleh kenaikan harga-harga komoditas dan meluasnya campur tangan pemerintah. Keberhasilan industrialisasi yang berorientasi ke dalam dihambat oleh terbatasnya pasar dalam negeri. Pada awalnya, ekspansi industri terjadi dengan cepat karena pasar dalam negeri sudah tersedia dan dibantu oleh kebijakan proteksi. Namun lambat laun mulai menyusut karena pasar dalam negeri telah terpenuhi (Manning, 1998 ; Ariff dan Hill, 1988).
Pada awal tahun 1980-an, industri tekstil Indonesia mengalami kemandekan akibat terlalu besarnya ekspansi yang dilakukan pada tahun 1970-an. Jumlah produk yang dihasilkan terlalu besar sehingga pasar domestik mengalami kelebihan pasokan. Tahun 1981-1982 merupakan titik terburuk hingga memerlukan reorganisasi dan restrukturisasi terhadap keseluruhan industri yang secara terus-menerus ditekankan di tingkat nasional. Banyak pengusaha kecil di Majalaya mengalami bangkrut. Beberapa menutup usahanya, sedangkan lainnya mengurangi produksi secara drastis, yaitu hanya menggunakan 50% dari alat tenun yang dimilikinya dan pengurangan jam kerja menjadi 1 shift (7 jam/hari) biasanya 2 shift (10 jam/hari). (Kompas, 30 September 1982 dan UPT, 1983 dalam Hardjono, 1990). Krisis ini berkaitan dengan dampak resesi dunia terhadap perekonomian Indonesia yang mengakibatkan daya beli dalam negeri semakin menurun, proteksi dari negara-negara pengimpor terutama Eropa dan Amerika Serikat, kesulitan likuiditas, dsb. (Kusnadi, 1985).
Untuk mengatasi krisis tersebut pemerintah memperkenalkan sertifikat sistem ekspor dan fasilitas kredit bank (Wibisono, 1987 dalam Hardjono, 1987). Berkaitan dengan peninjauan kembali kebijakan substitusi impor, pemerintah mendorong produksi untuk orientasi ekspor. Sebelumnya pabrik-pabrik besar memproduksi kain kualitas menengah yang jangkauannya untuk konsumen domestik. Padahal secara teknis mereka dapat memproduksi kain yang berkualitas lebih baik. Dengan terbukanya kesempatan ekspor mereka diharapkan dapat memproduksi kain yang berkualitas tinggi untuk pasar ekspor sehingga dapat mengurangi kompetisi di pasar domestik (Ariff dan Hill, 1988; Hardjono, 1990). Upaya pemerintah yang lain adalah melakukan program ”bapak angkat”. Program ini tidak berjalan karena sejak awal telah muncul keluhan-keluhan dari ”bapak angkat” mengenai rendahnya kualitas kain yang diproduksi ”anak angkat”. Sementara itu, ”anak angkat” juga mengeluhkan rendahnya keuntungan yang diperoleh. Akan tetapi pada praktiknya, program ini tidak berbeda jauh dengan sistem maklun (sistem subkontrak). Akhirnya produsen-produsen kecil sudah tidak tertarik lagi dengan program ini. Akhir tahun 1985, secara umum industri tekstil Majalaya mulai berada dalam posisi yang lebih baik daripada awal tahun 1980-an. Mereka mulai meraih keuntungan dari kemunculan pabrik-pabrik besar di berbagai daerah, seperti Kotamadya Bandung dan kecamatan-kecamatan di Dayeuhkolot, Cimahi, serta Ujungberung.
Mayoritas produsen Majalaya mulai merasakan perluasan pasar ini (Hardjono, 1990). Namun ini juga berarti kontrol terhadap keberlangsungan industri Industri Majalaya menjadi semakin jauh dari tangan para pengusaha lokal karena sangat bergantung pada order dari industri-industri besar tersebut. Sementara risiko yang harus ditanggung cukup tinggi karena mereka harus berurusan langsung dengan para buruhnya. Segala macam tuntutan buruh tidak ditujukan pada pemberi order, tapi pada penerima order yang jika diperhatikan dalam keseluruhan rantai produksi yang ada mereka juga dikategorikan sebagai buruh.
Sejak akhir tahun 1990-an hingga sekarang kondisi industri tekstil di Majalaya menjadi semakin menurun, terutama pada industri skala menengah ke bawah yang banyak dimiliki oleh para pengusaha lokal. Terlebih lagi ketika terjadi kebakaran pasar Tanah Abang bulan Februari lalu. Kejadian tersebut sangat memukul kegiatan pemasaran mereka karena Tanah Abang merupakan jalur pemasaran utama bagi produk-produk tekstil lokal Majalaya.